Metrosiar – Gelombang protes besar-besaran mengguncang Amerika Serikat (AS) akhir pekan ini. Jutaan warga turun ke jalan di seluruh 50 negara bagian untuk menyerukan “No Kings” — simbol penolakan terhadap gaya kepemimpinan Presiden Donald Trump yang dinilai otoriter.
Aksi yang diikuti sekitar tujuh juta orang itu berlangsung serentak, mulai dari New York hingga Los Angeles, bahkan menjalar ke kota-kota kecil termasuk di sekitar kediaman Trump di Florida. Para demonstran menyerukan agar demokrasi dijaga dari ancaman kekuasaan tunggal.
“Beginilah demokrasi!” teriak massa di Washington D.C., berdekatan dengan Gedung Capitol, yang hingga kini masih ditutup akibat kebuntuan legislatif selama tiga pekan. Slogan lain yang menggema di jalan-jalan ibu kota adalah, *“Hey hey, ho ho, Donald Trump has to go!”*
Banyak demonstran membawa bendera Amerika Serikat, beberapa di antaranya dikibarkan terbalik sebagai tanda keresahan. Spanduk dan poster berwarna-warni memenuhi jalan, berisi pesan “Protect Democracy” dan tuntutan agar pemerintahan AS menghapus **badan Imigrasi dan Bea Cukai (ICE)** yang dinilai menjadi simbol kerasnya kebijakan anti-imigran Trump.
Trump Balas dengan Video AI
Menanggapi protes tersebut, Donald Trump justru memposting sebuah video buatan kecerdasan buatan (AI) di platform media sosialnya, Truth Social. Video itu menggambarkan dirinya sebagai seorang raja yang gagah mengendarai jet tempur bertuliskan *“King Trump.”*
Dalam video berdurasi 19 detik tersebut, Trump tampak mengenakan mahkota emas, lalu melemparkan sesuatu dari pesawatnya yang menyerupai kotoran ke arah kerumunan demonstran. Video itu awalnya diunggah oleh akun X (Twitter) bernama @Xerias_X, sebelum kemudian dibagikan ulang oleh Trump tanpa keterangan tambahan.
Langkah Trump ini memicu kontroversi baru. Banyak pihak menilai unggahan tersebut sebagai sindiran balik terhadap gerakan “No Kings,” sementara sebagian lain menganggapnya sebagai bentuk arogansi politik di tengah krisis kepercayaan publik.
Reaksi Politik di Kongres
Ketua DPR AS, Mike Johnson, yang juga sekutu dekat Trump, menanggapi aksi massa dengan nada mengejek. Ia menyebut demonstrasi tersebut sebagai bentuk “kebencian terhadap Amerika.”
“Protes ini hanya menyatukan kaum Marxis, Sosialis, pendukung Antifa, anarkis, dan kelompok pro-Hamas dari sayap kiri Partai Demokrat,” ujar Johnson kepada awak media.
Pernyataan itu segera dibalas para demonstran dengan ejekan dan sorakan, menandakan semakin dalamnya polarisasi politik di negeri Paman Sam menjelang pemilihan presiden mendatang.
Aksi “No Kings” Jadi Simbol Perlawanan
Gerakan “No Kings” kini dipandang sebagai simbol perlawanan terhadap gaya kepemimpinan yang dianggap berpotensi mengikis nilai-nilai demokrasi di AS. Dengan jutaan warga yang turun ke jalan secara serentak, aksi ini disebut-sebut sebagai salah satu demonstrasi terbesar dalam sejarah modern Amerika.
Meski berlangsung damai, protes tersebut menunjukkan ketegangan politik yang terus meningkat di bawah pemerintahan Trump, terutama terkait isu **imigrasi, kebebasan sipil, dan penyalahgunaan kekuasaan eksekutif**.
Para pengamat menilai, bagaimana Trump dan pemerintahannya merespons aksi ini akan menjadi ujian penting bagi masa depan demokrasi Amerika Serikat.










