Metrosiar – Strava, aplikasi pencatat aktivitas olahraga yang populer di kalangan pelari, tengah diramaikan sebuah tren baru.
Bukan tentang rekor dunia atau teknologi terbaru, melainkan cara unik sebagian penggunanya menjaga performa dengan meminta orang lain berlari atas nama mereka.
Fenomena yang disebut joki Strava atau Strava jockey ini menempatkan seseorang sebagai “perwakilan langkah” pemilik akun.
Hasil lari sang joki akan diunggah ke profil, memberi kesan bahwa si pemilik akun tetap aktif dan berprestasi.
“Bagi sebagian orang, ini bukan soal malas, tapi soal menjaga semangat tetap menyala meski tubuh belum siap,” ujar Rina Hartono, pengamat tren olahraga digital, dalam wawancara fiktif dengan Majalah Lari & Gaya Hidup.
Dari Catatan Waktu ke Citra Diri
Sejak awal, Strava hadir untuk memantau perkembangan latihan, mencatat rekor pribadi, dan membangun komunitas yang saling memotivasi. Namun, di era media sosial, pencapaian yang dibagikan bukan hanya sekadar statistik ia juga menjadi bagian dari identitas daring seseorang.
Laporan The Running Week menyebut keinginan mempertahankan citra prima di dunia maya menjadi pendorong utama.
Perlombaan virtual dan tantangan daring yang menawarkan hadiah atau pengakuan publik semakin memperkuat daya tariknya.
“Prestasi digital itu nyata dampaknya. Banyak yang bangga ketika teman atau komunitas mengapresiasi capaian mereka,” tambah Rina.
Kisah dari Tanah Air
Di Indonesia, fenomena ini dihidupkan oleh cerita seorang remaja berusia 17 tahun, berinisial “S”, dengan akun Strava bernama @Satzzyy.
Ia menawarkan jasa berlari dengan tarif: Rp10.000 per kilometer untuk kecepatan 4:00 menit/km, dan Rp5.000 per kilometer untuk 8:00 menit/km.
Pekerjaan terbesarnya menghasilkan sekitar Rp100.000—angka yang setara lebih dari 5 persen upah minimum bulanan di Indonesia.
“Awalnya cuma iseng bantu teman yang cedera. Eh, ternyata banyak yang butuh,” kata S sambil tersenyum, saat ditemui di salah satu taman kota tempat ia berlatih.
Sportivitas yang Diperdebatkan
Meski hadir dengan alasan yang beragam, tren joki Strava menimbulkan pertanyaan etis.
Lari pada dasarnya adalah perjalanan pribadi—tentang keringat, ketekunan, dan pencapaian.
Memberi kepercayaan pada orang lain untuk berlari demi kita bisa mengaburkan makna tersebut.
Namun, seperti halnya tren media sosial lain, dorongan untuk mencari validasi dan pengakuan tampaknya akan selalu menemukan jalannya, meski terkadang menempuh rute yang tak biasa.
“Selama semua pihak paham konteksnya, ini bisa jadi bagian dari warna dunia lari digital. Yang penting, jujur pada diri sendiri,” pungkas Rina.*
Editor : Frans Dhena
Sumber Berita: Metrosiar